Thesis |
 |
|
Title | Internalisasi biaya konservasi lahan pertanian kentang di DAS Serayu. Studi kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah | Author | Rachman Pasha | Year | 2012 | Academic Departement, University | Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor | City | Bogor, Indonesia | Number of Pages | 111 | Degree | Magister | Call Number | TD0172-12 | |
Abstract: |
Tingginya laju sedimentasi di sungai menjadi suatu permasalahan yang
umum terjadi di berbagai DAS yang ada di Indonesia. Meningkatnya populasi
manusia di wilayah hulu, terbatasnya pemilikan lahan, tingginya kemiskinan serta
kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, cenderung memotivasi masyarakat
untuk membuka lahan guna menghasilkan sumber pendapatan baru (Farida dan
Noordwijk, 2004). Terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya
dan pola pengelolaan lahan juga diduga sebagai pendorong terjadinya aktivitas
masyarakat yang berakibat pada menurunnya kualitas & kuantitas air sungai.
Munculnya lahan-lahan kritis sebagai akibat dari proses erosi dan longsor dari
pola pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan berdampak langsung pada
meningkatnya proses sedimentasi di sungai. Kondisi ini merugikan banyak pihak,
baik dari masyarakat hulu sendiri selaku pengelola maupun para pengguna air
yang berada di daerah hilir selaku pemanfaat. Di satu sisi masyarakat merasa
dirugikan dengan seiring menurunnya hasil pertanian dan berkurangnya areal
lahan yang mereka miliki, sedangkan di sisi lain banyak pihak sebagai pengguna
air yang tidak dapat melakukan kegiatan produksinya secara maksimal (Verbist
dan Pasya, 2004).
Kondisi di atas juga terjadi di DAS Serayu, tepatnya pada dataran tinggi
Dieng. Masyarakat secara intensif mengusahakan lahan miliknya untuk budidaya
tanaman semusim, terutama kentang. Usaha budidaya tanaman kentang yang
selama ini dilakukan masyarakat cenderung tidak sesuai dengan kaidah konservasi
2
tanah dan sistem budidaya tanaman semusim di lahan kering. Masyarakat selama
ini beranggapan bahwa guludan yang sejajar kontur akan membuat aliran air
permukaan menjadi terhambat sehingga dikhawatirkan akan membuat tanah
menjadi tergenang air hujan yang pada akhirnya akan menyebabkan umbi kentang
menjadi busuk sehingga membuat mereka rugi. Selain itu, mereka juga
beranggapan bahwa pembuatan teknik konservasi cukup mahal. Paradigma ini
yang menyebabkan proses pemahaman mengenai pentingnya pola pertanian
ramah lingkungan di Dieng menjadi terkendala. Kondisi diatas berdampak pada
produksi kentang yang terus merosot selama empat tahun terakhir. Apabila pada
tahun 2004 per hektar tanaman kentang masih menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007
bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen hanya tertinggi 10-13,5 ton per hektar.
Biaya produksi tanaman pun naik, kalau 2004 per hektar cukup Rp 25 juta,
ternyata saat ini kisarannya Rp 40 juta-Rp 48 juta per hektar untuk sekali musim
tanam (TKPD 2008). Hal tersebut diperparah dengan semakin membanjirnya
kentang impor dari China yang memiliki harga jual relatif lebih murah
dibandingkan kentang Dieng, yaitu seharga Rp 3.500/kg sehingga menyebabkan
daya jual kentang Dieng kalah bersaing. Memburuknya kualitas tanah dan
panenan itu tak menyurutkan alih fungsi lahan. Menurut TKPD (2008), pada
tahun 2005 luas lahan kentang di Dieng 5.724 hektar, tahun 2006 menjadi 6.902
hektar. Pada tahun 2008, lahan justru meluas menjadi 8.075 hektar. |
|