Minimnya jumlah penyuluh pemerintah menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan penyuluhan, yang berakibat pada rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam mengelola kebunnya. Petani penyuluh atau penyuluh swadaya yang berprofesi sebagai petani, merupakan salah satu alternatif solusi untuk mengatasi kekurangan penyuluh. Di Indonesia, sejak tahun 2006, petani penyuluh diakui perannya oleh negara untuk membantu proses penyuluhan, akan tetapi belum banyak kajian dilakukan untuk melihat seberapa jauh peran petani penyuluh dan bagaimana hubungannya serta posisinya dibandingkan dengan penyuluh pemerintahan. Untuk itu studi ini dilakukan dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja petani penyuluh khususnya pada bidang agroforestri. Studi ini dilakukan melalui wawancara terhadap 67 petani yang disuluh oleh petani penyuluh dan 4 penyuluh pemerintahan, dengan membandingkan kinerja penyuluh swasta, penyuluh swadaya/petani penyuluh dan penyuluh pemerintah dari segi pengetahuan, kemudahan berkomunikasi dan metode penyampaian. Berdasarkan uji statistik Kruskal Wallis, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan (P=0,000) dan kemudahan berkomunikasi (P=0,004), dan metode penyampaian (P=0,004) secara nyata antara penyuluh swasta, penyuluh pemerintah dan penyuluh swadaya atau petani penyuluh. Petani penyuluh dinilai memiliki pengetahuan dan kemudahan berkomunikasi yang sama dengan penyuluh pemerintah, sedangkan penyuluh swasta lebih baik. Akan tetapi dari segi metode penyampaian, penyuluh pemerintah lebih baik dari petani penyuluh dan penyuluh swasta. Oleh karena itu pelatihan tentang metode-metode penyuluhan dapat diberikan pada petani penyuluh atau penyuluh swadaya sehingga kinerjanya menjadi lebih baik sebagai pelengkap penyuluh pemerintah. |