Sistem agroforestri dianggap mampu menjalankan sebagian fungsi ekologi hutan, termasuk dalam mempertahankan keanekaragaman hayati tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh intervensi manusia/petani dalam mempertahankan keanekaragaman hayati tumbuhan di lahan pertanian. Koleksi data mencakup 133 plot dari 30 orang petani yang tersebar di 15 desa di Kabupaten Bantaeng. Petak contoh berukuran 50 m x 40 m ditempatkan pada masing-masing unit pengelolaan lahan contoh untuk pengamatan tingkat pohon, sub-petak berukuran 10 m x 10 m, 5 m x 5 m dan2 m x 2 m masing-masing sebanyak tiga buah dibuat secara bersarang untuk pengamatan tiang, pancang dan semai. Semua jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dicatat dan ditanyakan asal-usul bibit atau benihnya kepada pemilik lahan. Plot petani yang diamati terdiri atas 48% agroforestry kompleks, 33% agroforestri sederhana, 8% agroforestri kayu dan 11% tumbuhan semusim. Regenerasi alami merupakan mekanisme yang banyak dijumpai di lahan agroforestri kompleks (42%) dan lahan agroforestri kayu (33%), sedangkan tumbuhan di lahan agroforestry sederhana (37%) dan tumbuhan semusim (54%) berasal dari pembibitan. Secara keseluruhan 54% tumbuhan di lahan petani hadir karena intervensi manusia, sementara 46% karena faktor alami. Dari seluruh plot yang diamati, ditemukan 114 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan, 3 spesies diantaranya termasuk komoditas utama di Bantaeng, yaitu Theobromacacao, Ceiba pentandra, dan Coffea arabica. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener tertinggi berada pada penggunaan lahan agroforestri kompleks dengan kisaran 1 - 2.8 (1.9), sedangkan pada hutan alami berkisar antara 2.3 - 2.8 (2.5). Hasil studi menunjukkan bahwa agoroforestri kompleks di Kabupaten Bantaeng mampu menyangga hingga 75% keanekaragaman hayati hutan. |