Abstract: |
Di Indonesia, pembangunan berkeadilan khususnya di pedesaan, menjadi program prioritas pemerintah dalam mengatasi kesenjangan pembangunan. Pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla menjanjikan “Nawa Cita”, yang salah satu diantaranya adalah pengakuan hak tenurial masyarakat Indonesia, melalui skema Perhutanan Sosial dengan target 12,7 hektar lahan hutan dan Reforma Agraria seluas 9 juta hektar. Skema tersebut dibangun untuk mencoba menjawab tantangan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam bagi masyarakat sekitar hutan secara berkelanjutan, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, persawahan, perkebunan dan wanatani rakyat serta wilayah adat. Reformasi tenurial hutan dan agraria ini bertujuan untuk meningkatkan peluang ekonomi rakyat baru berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kelestarian. Pada tahun 2011, pemerintah Bersama masyarakat sipil menggagas konferensi internasional tentang tenurial hutan di Lombok, yang bertujuan untuk mendorong pembenahan tata pemerintahan dalam penguasaan lahan dan hutan. Konferensi ini menghasilkan Peta Jalan Tenurial sebagai kesepakatan bersama yang terus berkembang hingga kini menjadi salah satu Program Prioritas Nasional, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 45 tahun 2016. Namun, implementasi reformasi tenurial hutan ini hasilnya beragam dan belum mencapai target yang diharapkan. Hambatan yang sering dihadapi umumnya terkait dinamika politik ekonomi dan kebijakan, terkait reformasi tenurial hutan. |
|