Abstract: |
Hutan adalah salah satu kekayaan bumi Indonesia yang tidak ternilai dan merupakan sebuah ekosistem dengan kandungan kekayaan alam yang sangat potensial untuk digali serta digunakan untuk kepentingan manusia. Tetapi, selalu ada sebuah komitmen dalai uusaha pendayagunaan hutan sebagai aset alam. Yaitu komitmen yang tertuang dalam konsep asas manfaat dan lestari. Ini berarti, kegiatan pemanfaatan hutan harus diimbangi dengan upaya pelestariannya. Pemanfaatan hutan fidak boleh melanggar kelestarian lingkungan hutan yang terus dijaga dan dipelihara. Untuk keperluan tersebut, perlu kiranya diketahui potensi yang ada pada hutan tersebut. Salah satu pendekatannya yaitu dengan mengetahui besarnya biomassa pohon yang merupakan salah satu komponen penting dalam hutan.
Biomassa adalah berat bahan organik per unit area yang ada dalam beberapa komponen ekosistem pada waktu tertentu, yang dinyatakan secara umum dalam istilah Berat Kering / Dry weight atau kadang-kadang ada juga yang memberikan istilah Berat Kering Bebas Abu/ Ash Free Dry Weight (Cintron & Novelli, 1984 dalam Kusmana et. at). Biomassa dapat dibedakan kedalam 2 kategori. yaitu
biomassa diatas permukaan tanah / Aboveground Biomass dan Biomassa dibawah permukaan tanah
Belowground Biomass.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui besarnya biomassa tanaman, menurut Chapman (1976). Secara garis besar ada dua metode pendugaan biomassa diatas permukaan tanah. Yaitu Metode Pemanenan, dan Metode Pendugaan Tidak Langsung.
Model Fractol Branching atau Model Pengulangan Cabang adalah Suatu model pendugaan biomassa pohon dengan metode pendugaan tidak langsung, berdisarkan diameter dan panjang batang sebelum dan sesudah percabangan. Model ini mengasumsikan bahwa kuadrat diameter batang sebelum percabangan sama dengan jumlah kuadrat diameter batang setelah percabangan, dan adanya
kesamaan atau pengulangan bentuk percabangan dalam berbagai skala. Adapun bentuk hubungan fungsional dari model ini berbentuk geometrik, dengan bentuk umum : Y = a D b atau dalam bentuk logaritmik : Log, Y = Log, a + b Log, D, dimana, Y adalah biomasa pohon, D adalah diameter setinggi dada serta a dan b masing-masing adalah intersep dan slope, keduanya merupakan konstanta. Tujuan
dari Penelitian ini adalah untuk mendapatkan persamaan pendugaan biomassa pohon karet (Hevea brasiliensis) berdasarkan Model Fractal Branching kemudian membandingkannya dengan persamaan allometrik biomassa Brown (1997) terkoreksi dan menguji pengaruh input Functional Branch Analysis (FBA) terhadap nilai intersep (a) dan nilai slope (b) dalam persamaan Y = a D b
Penelitian ini dilaksanakan di Rantau Pandan Jambi, pada tegakan hutan sekunder yang didominasi oleh pohon karet (Hevea brasiliensis) seluas ± 1.7 hektar. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : meteran, pita ukur, jangka sorong, chainsaw, parang, timbangan acculab. oven, kantung plastik, isolatif. kertas HVS. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah pohon
(tegakan hutan sekunder) dan sampel daun.
Prosedur penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap diameter setinggi dada (dbh), panjang dan diameter batang antar percabangan, jarak antar daun, luas daun dan berat kering daun dari 31 pohon contoh, yang dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok pohon karet (Hevea brasiliensis) dan kelompok pohon
non-karet(sebagai Pembanding). Pengolahan data dilakukan dengan Program General Statistik (Genstat) dan Functional Branch AnalySis (FBA).
Dari hasil pengolahan data diperoleh persamaan pendugaan biomassa pohon diatas permukaan tanah untuk kelompok pohon karet yaitu : V = 0.095D 2.62 , sedangkan persamaan pendugaan biomassa pohon diatas permukaan tanah untuk kelompok pohon non-karet adalah : Y = 0.091 D2.59
Persamaan pendugaan biomassa Model Fractal Branching merupakan simulasi dari persamaan allometrik biomassa Brown (1997) terkoreksi (dikaliberasi pada kondisi lingkungan yang relatif sama dengan lokasi penetilian ini dilaksanakan). sehingga untuk mengetahui apakah persamaan pendugaan biomassa Model Fractal Branching dapat mewakili persamaan biomassa pohon diatas permukaan tanah, maka dilakukan perbandingan dengan persamam allometrik biomassa Brown (1997) terkoreksi. Sedangkan persaaman pendugaan biomassa pohon diatas permukaan tanah menurut Brown (1997) terkoreksi adalah Y = 0.092 D 2'60
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa persanman pendugaan biomassa pohon diatas permukaan tanah berdasarkan Model Fractal Branching relatif sama dengan persamaan allometrik biomassa menurut Brown (1997) terkoreksi. Dengan demikian Model Fractal Branching dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk memperoleh persamaan pendugaan biomassa pohon diatas permukaan tanah.
Pengujian terhadap input FBA dalam Model Fractal Branching bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing input terhadap nilai intersep (a) dan nilai slope (b)dalam persamaan Biomassa, serta untuk mengetahui input yang sangat berpengaruh terhadap nilai intersep (a), dan nilai slope (b). Hasil penelitian menunjukkan bawma pada saat input FBA diturunkan menjadi 1/2 kali (50%) dari nilai aktual, Avg. q (rata-rata q, q D2 maximum setelah percabangan/Jumlah D2 setelah percabangan)memberikan pengaruh paling besar terhadap nilai intersep (a) dan nilai slope (b), sedangkan
Lbaretip (panjang batang selelah percabangan terakhir) memberikan pengaruh paling kecil terhadap nilai intersep (a).
Pada saat input dinaikan menjadi 2 kali (200%) dari nilai aktual, Avg. alpha (rata-rata alpha, alpha = D2 sebelum percabangan/jumlah D2 setelah percabangan)
(a) dan Range q (kisaran nilai q) memberikan pengaruh paling besar terhadap nilai slope (b), sementara, itu Idslope (perbandingan pertambahan panjang dengan pertambahan diameter batang) memberikan pengaruh paling kecil terhadap nilai intersep (a), sedangkan Range alpha (kisaran nilai alpha dan Range L (kisaran nilai L, L = panjang batang antar percabangan) tidak memberikan pengaruh terhadap nilai slope (b).
Lintersect (panjang batang antar percabangan pada percabangan awal) tidak memberikan pengaruh terhadap nilai slope (b) baik pada saat input diturunkan menjadi 1.2 kali (50%)maupun pada saat dinaikkan menjadi 2 kali (200%) dari nilai aktual.
Maxfinclens (jumlah daum per cm sebelum diameter batang mengalami penurunan kerapatan daun) dan Avg. leafarea (rata-rata luas daun) memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai intersep (a) dan nilai slope (b) kemudian DwperV (berat kering per unit volume) dan Specleafarea (luas daun spesifik) hanya memberikan pengaruh yang sama pada nilai slope (b) saja. Sedangkan Specleafarea sendiri, memberikan pengaruh yang berlawanan dengan Maxfindens dan Avg. leafarea, baik pada nilai intersep (a) maupun pada nilai slope (b). |
|